Google

Jumat, 07 Desember 2007

Kebijakan Daerah Bernuansa Syariah

Kebijakan Daerah Bernuansa Syariah

Gerbang Marhamah di Cianjur, Jawa Barat (Dok. GATRA/Tatan Agus RST.)Polemik tentang peraturan daerah (perda) bernuansa syariat Islam selama ini lebih banyak berkutat pada debat analisis materi perda. Bagi yang pro, teks perda yang demikian diyakini sejalan dengan kebutuhan regulasi lokal dan kehendak masyarakat setempat. Bagi yang kontra, isi perda macam itu dicemaskan melanggar hak-hak dasar warga, memperkeruh toleransi antar-agama, bahkan lebih jauh, mengancam keutuhan negara-bangsa.

Bagaimana persepsi warga daerah yang memberlakukan perda bercorak keagamaan? Belum banyak ulasan mendalam. Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, Rabu pekan lalu, melansir hasil risetnya, di Cisarua, Bogor. Riset itu berusaha menjawab pertanyaan tersebut.

Persepsi warga itu penting bagi kelangsungan regulasi. Banyak literatur sosiologi hukum yang menandaskan bahwa tinggi rendahnya dukungan masyarakat akan menentukan kuat lemahnya efektivitas peraturan.

Penelitan sepanjang 2006 itu dilakukan di enam daerah. Mulai Kabupaten Bireun (Aceh), Kota Tangerang (Banten), Indramayu (Jawa Barat), Tasikmalaya (Jawa Barat), Bulukumba (Sulawesi Selatan), sampai Bima (Nusa Tenggara Barat). Riset dilakukan secara kuantitatif, via survei dengan wawancara langsung, dan kualitatif, dengan penelitian lapangan.

Total responden 1.000 orang. Dari tiap daerah diambil 133 atau 134 sampel muslim secara acak dan 33 atau 34 sampel non-muslim secara tidak acak. Komposisi laki-laki dan perempuan diseimbangkan. Margin of error 3%, dengan tingkat kepercayaan 95%. Menurut Manajer Program CSRC, Sukron Kamil, muara riset ini untuk menakar dampak perda bernuansa syariah pada tiga hal: kebebasan sipil, hak perempuan, dan hak minoritas non-muslim.

Kadar muatan syariah pada keenam daerah yang dipilih itu beraneka. Ada yang kental, ada pula yang hambar. Paling kental terjadi di Aceh, yang sampai menjangkau aspek pidana. Perda di Aceh dinamai qanun dan tak hanya menyatur soal agama.

Sepanjang 2003, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam mengeluarkan tiga qanun bermuatan pidana Islam: maysir (judi), khamr (minuman keras), dan khalwat (berduaan di tempat sepi). Inilah tahun paling produktif bagi Aceh menelurkan qanun bermuatan syariah. Sebelumnya, tahun 2002, hanya dua qanun. Tahun 2004, hanya satu qanun tentang zakat.

Lalu, tahun 2005 sampai Juli 2007, tak satu pun qanun syariah disahkan. Ini menguatkan sinyalemen sebagian kalangan bahwa dua tahun terakhir, gairah membuat perda syariah cenderung meredup. Pada enam daerah yang diteliti itu, perda paling anyar dikeluarkan tahun 2005.

Bila muatan syariah di Aceh terasa kental, di sebagian daerah lain cenderung artifisial. Malah sebagian tidak termasuk kategori "hukum" Islam dalam definisi terkini. Misalnya, keharusan membaca Al-Quran sebagai syarat menjadi pengantin di Bulukumba. Begitu pula wajib belajar madrasah diniyah di Indramayu. Itu kebajikan atau ibadah sunah yang diadopsi jadi kebijakan daerah.

Yang lebih bermasalah dilabeli "perda syariah" adalah perda larangan pelacuran dan minuman keras, seperti di Kota Tangerang. Itu sejatinya bukan khas syariah. Banyak sistem hukum di luar Islam yang juga memasukkan prostitusi sebagai tindak pidana. Maka, Wali Kota Tangerang Wahidin Halim menyangkal bila perdanya dikatakan sebagai pengejawantahan formalisasi syariat Islam.

Kelemahan penelitian yang sudah dibukukan ini adalah tidak tertib dan disiplin memilah antara perda syariah dan bukan syariah. Sehingga judul Bab IV, "Dampak Penerapan Perda Syariah Islam terhadap Masyarakat", menjadi tidak tepat sasaran. Sebab yang dimintakan tanggapan responden juga materi syariat Islam yang tidak menjadi perda. Sebagian masih jadi wacana polemis dalam literatur fikih, seperti hukum rajam bagi pezina dan potong tangan bagi pencuri.

Namun, bila tidak dibatasi pada "Dampak Perda Syariah", riset ini telah menyumbang banyak informasi berharga tentang kesadaran hukum masyarakat dalam kaitan tema-tema syariat Islam. Hal itu penting menjadi bahan kajian dan pertimbangan berbagai kalangan, khususnya yang berkepentingan dalam proses pembentukan dan penegakan hukum.

Direktur Pascasarjana UIN Jakarta, Azyumardi Azra, yang jadi pembahas hasil riset itu, memberi catatan bahwa berpalingnya sebagian masyarakat ke syariah itu akibat kecewa pada proses penegakan hukum yang ada. "Syariat Islam dipercaya sebagai panasea untuk mengobati apa saja," kata Azyumardi. Kredibilitas penegak hukum tidak dipercaya. Banyak kasus ditangani secara tebang pilih.

Menurut riset itu, dukungan pada pemberlakuan berbagai jenis sanksi pidana Islam amat tinggi. Hampir semua didukung lebih dari separuh responden. Rajam bagi pezina yang berstatus suami/istri disetujui 85%, cambuk bagi penjudi 79%, cambuk bagi pemabuk 78%, hukum mati bagi pembunuh 72%, dan hukum ta'zir (sanksinya diserahkan pada penguasa) bagi pelaku khalwat 58%. Dukungan terendah (44%) pada hukuman mati bagi orang murtad. Tapi itu masih lebih tinggi dari responden yang menolak (36%).

Riset itu juga memberi catatan penting bagi para penggiat keadilan gender. Sejumlah materi perda yang banyak dikritik aktivis gender selama ini ternyata mendapat penerimaan lebih dari separuh responden. Misalnya, pewajiban memakai jilbab disetujui 96,2%, pemisahan laki-laki dan perempuan di ruang publik didukung 61,4%, bahkan praktek poligami disetujui 61%. Hak perdata perempuan, seperti dalam kasus waris dan kesaksian yang separuh lelaki, juga didukung lebih dari setengah responden (lihat tabel).

Namun persepsi responden, yang pada kasus waris dan kesaksian tampak diskriminatif, ternyata tidak menimpa agenda domestik yang lain. Misalnya, dalam hal kesempatan perempuan bekerja di luar rumah dan pengelolaan ekonomi keluarga secara bersama dan setara disetujui lebih dari 80% responden.

Temuan krusial lain yang penting dicermati adalah terkait relasi antar-agama. Memang lebih dari separuh responden non-muslim mengaku tidak mengalami perlakuan diskriminatif atas isu-isu yang ditanyakan. Misalnya dalam mengurus izin ibadah, diperlakukan tidak adil, dan dihambat menjadi pemimpin. Namun keluhan terbesar non-muslim muncul dalam kasus amat mendasar: menjadi korban perusakan tempat ibadah (57,5%) dan diusir dari komunitas muslim (38,5%).

Ini isyarat bahwa relasi antar-agama masih menyimpan bara. Antusiasme demonstratif dalam penegakan syariah, menurut opini-opini yang mengemuka dalam workshop hasil penelitian ini di Cisarua, bisa memicu reaksi balik kalangan non-muslim --yang bisa sama-sama tidak sehat. Contohnya, gagasan menjadikan Manokwari sebagai "kota Injil", beberapa waktu lalu.

Diskusi hasil riset ini menawarkan rekomendasi, agar semarak perda bermuatan agama disikapi dengan pembenahan serius pada fase proses pembentukannya. Yakni dengan memaksimalkan partisipasi publik, memperluas akses kontrol dari berbagai kalangan warga, dan meminimalkan muatan aturan yang bercorak diskriminatif.

Sehingga hasilnya solid dan singkron dengan totalitas sistem hukum yang ada. Proses dimikian sudah mulai berjalan pada level Program Legislasi Nasional. Diharapkan segera menular ke Program Legislasi Daerah.

Asrori S. Karni
[Agama, Gatra Nomor 3, Beredar Kamis, 29 November 2007]

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Assalamualaikum wr wb
saya sih tak komentar pada tulisan ini tapi saya kepingin punya gambar PKS di blog saya gimana yah.... balik kontak yah